Gurusaham.com - Mantan Direktur Utama Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia/BEI), Hasan Zein Mahmud mengungkapkan bahwa penerapan circuit breaker asimetris oleh BEI saat ini memberikan kesan bahwa bursa terlalu memberikan proteksi pada pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan harga saham.
Menurut dia, penerapan auto reject atas (ARA) dan auto reject bawah (ARB) yang tidak simetris ini menjadikan ARB jadi terlalu sering dibanding terjadinya ARA.
"Circuit breaker bawah dan atas yg tidak simetris itu yg jadi masalah ARB relatif terlalu sering dibanding ARA. BEI terkesan ingin campur tangan memproteksi harga," kata dia kepada CNBC Indonesia, Selasa (8/6/2021).
Untuk itu, dia menyarankan, jika ARB memang ditujukan sebagai warning kepada investor ada baiknya posisi auto rejection ini dikembalikan ke posisi semula.
Auto reject asimetris adalah batas penolakan sistem perdagangan yang batas kenaikan maksimum saham (batas atas) dan batas penurunan maksimum (batas) bawah tidak sama.
Sebaliknya auto reject simetris adalah batas atas dan batas bawahnya sama. Biasanya dalam keadaan normal, auto reject simetris yang berlaku sebagaimana pernah dilakukan BEI pada September 2016.
Mengacu Surat Keputusan Direksi BEI Kep-00096/BEI/08-2015 tentang Perubahan Batasan Auto Rejection, batasan auto reject yakni:
Saham dengan rentang harga Rp 50-Rp 200: batasan auto rejection 35% (naik & turun)
Saham dengan rentang harga Rp 200-Rp 5.000: batasan auto rejection 25% (naik & turun)
Saham dengan Rp 5.000 ke atas: batasan auto rejection 20% (naik & turun)
Sementara itu, untuk saham yang baru pertama kali diperdagangkan (hari pertama listing di BEI) di pasar sekunder, batasan auto rejection yang berlaku adalah dua kali lipatnya yakni 70% untuk rentang harga Rp 50-Rp 200, 50% untuk rentang harga Rp 200-Rp 5.000, dan 40% untuk saham dengan harga di atas Rp 5.000.
KOMENTAR