Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa mengajukan pailit atas perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) kepada Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam hal ini adalah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).
Permohonan pailit kepada emiten oleh OJK ini tak mengharuskan perusahaan terkait memiliki masalah utang piutang.
Kepala Departemen Pengawas Pasar Modal 1A OJK Luthfi Zain mengatakan permohonan pembubaran dan kepailitan emiten ini bisa diajukan OJK jika emiten tersebut dinilai tidak memenuhi ketentuan serta melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Jadi bisa minta tolong Kejaksaan untuk membubarkan emiten dan perusahaan terbuka yang bukan berkaitan dengan utang piutang tapi soal kepentingan umum dan pelanggaran peraturan perundang undangan," kata Luthfi dalam media briefing OJK, Selasa (9/3/2021).
Ketentuan baru ini tertuang dalam pasal 72 Peraturan OJK Nomor 3/POJK.04/2021 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal. Aturan ini merupakan POJK pengganti PP 45/1995.
Dalam aturan ini disebutkan bahwa OJK dapat memohonkan pembubaran atau pernyataan pailit terhadap Perusahaan Terbuka yang tidak memenuhi perintah OJK untuk mengubah status Perusahaan Terbuka menjadi perseroan yang tertutup termasuk perubahan status sebagai tindak lanjut dari proses pembatalan pencatatan efek (delisting) oleh Bursa Efek.
Disebutkan juga dalam POJK ini bahwa nantinya OJK dapat memerintah emiten untuk melakukan delisting (penghapusan pencatatan di papan bursa), jika terdapat perintah dari otoritas berwenang untuk memerintahkan perubahan status Perusahaan Terbuka menjadi perseroan yang tertutup.
Kondisi lainnya yang memungkinkan adalah jika perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi secara penuh selama setidaknya tiga tahun terakhir.
Kelanjutan dari proses delisting ini, dalam POJK ini regulator keuangan juga mengatur mengenai mekanisme delisting. Salah satunya adalah emiten diwajibkan untuk melakukan penawaran sukarela (tender offer) untuk membeli kembali sahamnya di publik.
Hal ini harus dilakukan sehingga setidaknya setelah delisting, pemegang saham perusahaan menjadi kurang dari 50 pihak. Pembelian kembali saham ini juga harus dilakukan dengan harga yang masuk akal.
Luthfi mengatakan, jika kondisi tidak memungkinkan bagi perusahaan untuk melakukan pembelian kembali dalam hal tidak tersedianya keuangan yang cukup, maka upaya ini bisa dilakukan oleh pemegang saham pengendali perusahaan.
"Tapi memang betul ada yang bisa ga tuntas kalau pengendali ga punya uang, ada instrumen perintah tertulis melakukan tender offer, ketika tidak ditaati bisa ada konsekuensi pidana," terangnya.
Selama ini 'keperkasaan' OJK mengajukan pailit baru berlaku di perusahaan asuransi. Pasal 50 UU Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian menyebutkan "Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh OJK."
Sementara itu, delisting saat ini dilakukan oleh otoritas bursa yakni Bursa Efek Indonesia (BEI).
[CNBC]
KOMENTAR