Gurusaham.com - Gojek, salah satu raksasa platform ride-hailing Asia Tenggara, diklaim telah melakukan merger Tokopedia sejak 9 Maret 2021. Sinyal aksi korporasi lanjutan seperti initial public offering (IPO) pun menguat.
Berdasarkan laman Crunchbase yang dikutip Bisnis.com, Kamis (1/4/2021), Gojek diketahui menempuh jalur akuisisi terhadap Tokopedia, yang merupakan platform marketplace, pada 9 Maret 2021.
Ketika dikonfirmasi, VP Corporate Communications Gojek Audrey Petriny mengaku tidak bisa memberikan komentar lebih jauh.
"Kami tidak dapat menanggapi spekulasi yang ada di pasar," kata Audrey.
Bisnis.com juga sudah mencoba untuk menghubungi External Communications Senior Lead Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya untuk meminta konfirmasi lebih lanjut, tetapi belum mendapatkan respons.
Pada awal Maret 2021, Tokopedia dan Gojek dikabarkan telah menandatangani perjanjian penjualan dan pembelian bersyarat (Conditional Sales and Purchase Agreement/CSPA) terkait dengan perjanjian merger kedua perusahaan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari sejumlah portal finansial, valuasi perusahaan hasil merger tersebut diperkirakan mencapai US$35 miliar—US$40 miliar. Kemudian, pemegang saham Gojek akan memiliki 60 persen saham di entitas hasil merger tersebut. Sebaliknya, sisanya 40 persen akan dimiliki Tokopedia.
Selain itu, perusahaan teknologi raksasa itu akan mencatatkan sahamnya terlebih dahulu di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jika demikian, entitas hasil merger Gojek-Tokopedia akan menjadi perusahaan terbesar ketiga setelah PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI) dalam hal kapitalisasi pasar di BEI.
Menurut catatan Bisnis.com, salah satu skenario yang dibahas adalah menggabungkan kedua perusahaan sebelum secara bersamaan mencatatkan mereka di Indonesia dan Amerika Serikat (AS).
Namun, skema lain adalah mendaftarkan Tokopedia di Jakarta terlebih dahulu, kemudian bergabung dengan Gojek sebelum mendaftarkan entitas gabungan di AS.
Sumber dari Bloomberg mengatakan perusahaan belum memutuskan apakah mereka akan memilih untuk mendaftar di AS melalui penawaran umum perdana tradisional atau tujuan khusus melalui jalur akuisisi.
Penggalangan dana di pasar modal melalui skema penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) dinilai bakal membawa banyak keuntungan bagi perusahaan rintisan, termasuk termasuk perusahaan teknologi financial (fintech).
Komisaris Bursa Efek Indonesia Pandu Sjahrir menuturkan, lebih banyak sisi positif bagi perusahaan teknologi yang melakukan IPO, salah satu yang utama adalah diversifikasi sumber pendanaan, yang mana dana segar dari pasar modal dapat meningkatkan performa kinerja perusahaan.
“Selain company performance, company image juga terbantu. Ini juga bagus buat retention employee dan tentu saja dari sisi likuiditas. Ini penting baik dari sisi investor, owner, maupun employee,” katanya dalam sesi diskusi virtual Akselerasi Pertumbuhan perusahaan Fintech Melalui pasar Modal Indonesia dengan IPO Rabu (31/3/2021).
Pandu menambahkan, perubahan status perusahaan menjadi perusahaan publik juga akan mereduksi potensi konflik kepentingan pemilik perusahaan dan meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG).
Tak hanya itu, dengan melantai di bursa, Pandu menyebut perusahaan akan memiliki benefit fiskal seperti diskon pajak khusus emiten. Pun, berbagai keuntungan seperti kemitraan strategis dan potensi keberlangsungan usaha yang lebih terjamin.
“Belum lagi valuasi yang optimal, baik untuk company maupun founder,” pungkas Pandu.
Kepala Riset NH Korindo Sekuritas Anggaraksa Arismunandar mengatakan semakin banyaknya perusahaan teknologi yang melantai di BEI sejalan dengan akselerasi transformasi digital yang semakin terasa perannya pada kehidupan sehari-hari. Apalagi di masa pandemi, dimana produk dan jasa digital justru semakin dibutuhkan.
“Kami melihat pasar modal sudah mulai dijadikan sumber pilihan pendanaan bagi perusahaan-perusahaan teknologi, dimana biasanya pada fase startup lebih umum mencari pendanaan melalui venture capital (VC) atau angel investor,” ujarnya kepada Bisnis.
Anggaraksa melihat pihak BEI juga mendukung tren ini dengan melakukan spin-off dan menjadikan sektor teknologi sebagai klasifikasi industri sendiri dalam indeks IDX Industrial Classification (IDX-IC) yang baru diluncurkan.
“Tentu harapannya adalah semakin banyak perusahaan teknologi yang akan menjadi anggota indeks ini,” imbuh dia.
Selain itu, rencana IPO dari perusahaan-perusahaan kategori unicorn seperti Tokopedia-Gojek dan Grab tentu akan semakin membuat pasar modal Indonesia menjadi lebih menarik.
Pasalnya, produk dan jasa dari perusahaan-perusahaan ini sudah cukup akrab di masyarakat, sedangakan saat ini rata-rata perusahaan teknologi yang melantai di bursa masih cukup jarang dikenal.
“Hal ini tentu sangat kontras jika dibandingkan dengan bursa AS yang secara kapitalisasi pasar didominasi oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Apple, Google/Alphabet, Amazon, Facebook dan Microsoft,”pungkasnya.
KOMENTAR