Mengukur prospek valuasi saham bank digital memang tak mempan lagi menggunakan nilai rasio harga terhadap nilai buku (price to book value/PBV). Lihat saja, kapitalisasi pasar dua bayi bank digital terus merangsek naik dan menyalip bank- bank besar.
PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang hingga kini belum jelas produk dan layanan digitalnya mencatat kapitalisasi pasar Rp 112,7 triliun. Saham bank ini ditutup naik 0,5% pada perdagangan Kamis (6/1) ke level Rp 9.750.
Sedangkan kapitalisasi pasar PT Bank Jago Tbk (ARTO) sudah mencapai Rp 254,5 triliun. Harga sahamnya ditutup naik 4,36% ke level Rp 18.550.
ARTO saat ini sudah ada diurutan keempat sebagai bank dengan kapitalisasi pasar terbesar mengungguli PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan kapitalisasi pasar Rp 128,2 triliun.
Sementara BBHI ada diurutan ke enam. Tiga urutan pertama masih diduduki oleh BBCA, BBRI dan BMRI.
Jika mengacu pada rasio PBV, dua bank digital ini sudah sangat mahal. ARTO sudah mencapai 31,6x dan BBHI lebih tinggi lagi yakni 88,5x.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, bank-bank digital ini bisa menyalip senior-seniornya meskipun masih baru lahir karena persepsi pelaku pasar yang cukup tinggi meskipun fundamentalnya saat ini belum mendukung.
"Ke depan, kalau ARTO bisa meningkatkan fundamental kinerjanya maka akan bisa akan semakin diminati investor. Begitu juga dengan BBHI," ujarnya pada Kontan.co.id, Kamis (6/1).
Sementara antara Bank Jago dan Allo Bank, sejauh ini Reza melihat masih lebih unggul Bank Jago karena sudah start lebih awal membentuk ekosistem dengan menjalin kerjasama Gojek, Bibit dan lain-lain.
Dari sisi valuasi, ARTO juga dilihat lebih unggul. Hal itu tercermin dari kapitalisasi pasar bank ini yang sudah mencapai Rp 254,5 triliun.
Menurut Reza, Allo Bank tetap punya potensi untuk mengungguli Bank Jago seiring dengan rencana rights issuenya, namun hal itu tentu membutuhkan usaha dan juga waktu.
"Jika Allo bank bisa lebih cepat mengeksekusi rencana bisnisnya dan menggarap potensi dari ekosistem yang sudah dibentuk maka fundamental bank akan semakin meningkat dan akan berdampak pada harga sahamnya yang akan semakin diminati investor," tandasnya.
Seperti diketahui, BBHI akan melakukan rights issue melepas 10,04 miliar saham atau setara 86% dari total modal BBHI dengan harga Rp 478. Cirul Tanjung melalui Mega Corpora selaku pemegang saham dengan kepemilikan 90% hanya akan menyerap 30% haknya. Selebihnya telah dialihkan ke Bukalapak, Salim Group, Grab, Abadi Investments Pte Ltd dan lain-lain.
Kehadiran investor baru itu tentu akan menambah ekosistem digital Allo Bank. Ekosistem digital yang luas merupakan salah satu kunci utama agar bank digital sukses ke depan.
Bank-bank digital besar tampaknya bakal semakin mengerucut menyusul kolaborasi yang sudah tercipta antara bank dengan perusahaan-perusahaan teknologi dan juga grup besar lainnya, termasuk di Allo Bank ini.
Sementara PT Bank Jago Tbk telah memiliki ekosistem dengan kolaborasi dengan Grup GoTo seiring masuknya Gojek sebagai pemegang saham perseroan. Adapun ekosistem Bank BCA Digital akan didukung oleh induknya dan juga dari Djarum Group terutama lewat kolaborasi eksklusif yang sudah dijalin dengan Blibli, sedangkan PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) akan diperkuat jaringan ekosistem BRI Group.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dikabarkan juga akan menggandeng perusahaan teknologi, Sea Group (induk e-commerce Shoppe), untuk mencaplok Bank Mayora dan menyulapnya jadi bank digital.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan melihat ekosistem bank-bank digital memang semakin meluas seiring dengan variatifnya investor strategis yang masuk ke bank tersebut. Ekosistem bank akan terbentuk dengan memanfaatkan jaringan bisnis investor.
Menurutnya, yang paling unggul ke depan dari bank-bank dengan ekosistem luas tersebut adalah mereka yang punya dukungan modal yang kuat dan bisa memanfaatkan ekosistem bisnis para investornya.
"Ke depan, pemain besar bank digital akan mengerucut menjadi beberapa bank saja. Ini dampaknya bisa saja positif dan bisa negatif. Kalau hanya ada segelintir bank yang akan menguasai pasar tentu dampaknya bisa negatif," keta Trioksa, Kamis (6/1).
Bagi bank tradisional yang saat ini yang ekositemnya kecil, Trioksa menekankan harus melakukan kerjasama dengan bank digital agar bisa bertahan karena arah persaingan bisnis bank ke depan akan ke arah digital banking.
Senada, Piter Abddullah Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memandang bank yang tidak punya ekosistem digital bakal kalah bersaing ke depan. Menurutnya, ekosistem digital itu adalah syarat utama bagi bank digital bisa bersaing.
Kendati begitu, dia mengingatkan bahwa bank yang sudah punya ekosistem yang luas juga belum tentu bisa memenangkan persaingan. "Ekostem itu baru satu syarat. Mereka juga harus masih harus memenuhi syarat lainnya, bagaimana memanfaatkan ekosistem itu dalam bentuk sinergi yang tertuang dalam produk dan layanan," jelas Piter.
Sejauh ini, Piter melihat baru bank Jago yang secara jelas memiliki ekosistem digital yang luas. Sedangkan Allo Bank baru dalam tahapan rencana, demikian juga dengan bank digital lainnya.
Mengingat ekosistem bukan satu-satunya syarat kesuksesan bank digital, Piter mengatakan saat ini belum bisa dipastikan siapa bank yang akan unggul ke depan. Masih perlu melihat perkembangan bagaimana ekosistem digital itu benar-benar terbentuk dan dimanfaatkan.
Menurut Piter, semua bank pasti akan membentuk ekosistem sendiri-sendiri ke depan. "Sekarang masih dalam proses yang terus berjalan. bank trandisonal kalau tidak mau kalah bersaing mereka harus ikut membentuk ekosistem digital atau tergabung dalam ekosistem digital." pungkasnya.
[Kontan]
KOMENTAR