Jakarta, CNBC Indonesia - Negara berkembang seperti Indonesia memiliki trauma dengan istilah taper tantrum yang terjadi pada 2013. Ada beberapa hal yang sekiranya perlu diwaspadai agar Indonesia bisa mengantisipasi agar situasi taper taper tantrum tidak terjadi lagi.
Beberapa waktu lalu, Ketua Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell mengatakan pembukaan kembali perekonomian membuat inflasi naik untuk sementara. Ia juga menekankan The Fed akan bersabar untuk merubah kebijakannya meski inflasi naik.
"Kami memperkirakan pembukaan kembali perekonomian dan mudah-mudahan menunjukkan pertumbuhan, kita akan melihat kenaikan inflasi" kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, dikutip Selasa (9/3/2021).
Kepala ekonom BCA David Sumual memandang hal tersebut memicu kekhawatiran akan terulangnya taper tantrum. Bahkan ada yang memproyeksikan kondisi tersebut bisa terjadi di semester II-2021. Menurut David, kemungkinan taper tantrum masih terlalu dini untuk dibicarakan, apalagi ditakutkan. Tapi setidaknya pemerintah, Bank Indonesia (BI) serta pihak terkait lainnya juga patut waspada.
"Tetap harus waspada," tegas David kepada CNBC Indonesia.
Dibandingkan 2013 saat taper tantrum terjadi, inflasi Indonesia saat ini masih jauh lebih baik, bisa terkendali di bawah 2%. Di sepanjang tahun 2020 inflasi Indonesia berada di angka 1,68% (yoy). Dibandingkan 2013, inflasi Indonesia sempat mencapai 8,2% year on year.
Selanjutnya, pada 2013 ekonomi Indonesia juga terbelenggu masalah setelah The Fed menarik stimulusnya sehingga nilai tukar rupiah jatuh dan terjadi masalah pada defisit di transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
CAD pada 2013 mengalami defisit sebesar US$ 7,3 miliar. Sementara CAD Indonesia untuk keseluruhan tahun 2020 tercatat defisit US$ 4,7 miliar atau 0,4% dari PDB. Membaik jika dibandingkan dengan 2019 yang defisitnya mencapai US$ 30,4 miliar atau 2,72% dari PDB.
"Kita juga perhatiin current account gimana, perkembangannya gimana. Karena selalu ketika terjadi tekanan yang dilihat selalu current account. Current account udah termasuk impor, aliran modal, karena current account masih defisit jadi tetap atraktif aset-aset portofolio kita," jelasnya.
Tahun 2013, untuk menghindarkan Indonesia dari krisis finansial akibat taper tantrum dan tekanan dalam defisit transaksi berjalan, pemerintah harus memotong subsidi BBM dengan menaikan harga BBM rata-rata 40%, BI menaikkan BI rate 175 basis poin (bps) dan membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar. Sekarang tentu hal itu sudah tidak terjadi, karena sudah berganti sistem.
"Untungnya sekarang BBM konsumsi pertalite lebih besar, dulu beban premium subsidinya besar. Nilai tukar rupiah pun saat ini masih dalam range yang wajar," jelas David.
Seperti diketahui, saat 2013 silam, rupiah sempat berada pada level Rp 8.000 per dolar AS, namun kemudian rupiah seketika anjlok melewati Rp 10.000 per dolar AS hingga kemudian sampai ke Rp 12.000 per dolar AS.
Saat ini, nilai tukar rupiah terpuruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Selasa (9/3/2021), nyaris menyentuh Rp 14.500/US$. Meski demikian, rupiah menunjukkan tanda-tanda bangkit dan tidak menutup kemungkinan bisa membalikkan keadaan di akhir perdagangan nanti.
Kendati demikian, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri sempat mengingatkan, tahun 2013 Indonesia punya kemewahan untuk melakukan pengetatan ekonomi karena pertumbuhan ekonomi saat ini masih pada kisaran 6%.
Jika BI melakukan pengetatan moneter dan pemerintah melakukan pengetatan fiskal untuk stabilisasi pasar keuangan, ada risiko pertumbuhan ekonomi yang baru pulih bisa kembali anjlok. Stabilisasi ekonomi, ketika pertumbuhan rendah bukan pilihan yang baik.
Oleh karena itu, Indonesia harus pulih lebih cepat sebelum tapering terjadi. BPS beberapa waktu lalu mengumumkan, tahun 2020 ekonomi mengalami kontraksi 2,07%.
"Kontraksi ekonomi memang terus mengecil sejak Triwulan II-2020. Jika tren ini berlanjut, pertumbuhan ekonomi bisa positif pada Triwulan I-2021. [...] Syaratnya pandemi bisa diatasi," jelas Chatib Februari 2021 lalu.
[CNBC]
KOMENTAR