Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), menyatakan dampak dari merger tiga bank syariah BUMN akan menyebabkan porsi investor publik atau masyarakat di saham BRIS akan menjadi di bawah 7,5% atau berada di bawah ketentuan minimal saham milik publik.
Corporate Secretary & Communication Group BRIS Rosalina Dewi T mengatakan bahwa perseroan telah menginformasikan bahwa merger memang akan menyebabkan kepemilikan saham masyarakat menjadi di bawah 7,5%, atau di bawah ketentuan BEI.
Hal ini sudah disampaikan kepada otoritas bursa dan pasar modal, sesuai dengan Ringkasan Rancangan Penggabungan dan Tambahan Informasi dan/atau Perubahan atas Ringkasan Penggabungan antara PT Bank BRISyariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri, dan PT Bank BNI Syariah yang telah dipublikasikan melalui surat kabar pada 21 Oktober 2020 dan 11 Desember 2020.
"Perseroan tidak memiliki rencana untuk menghapuskan pencatatan sahamnya di BEI. Oleh karenanya, perseroan akan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan guna memenuhi ketentuan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku," jelasnya.
Dia mengatakan, sebagai perusahaan tercatat, perseroan akan senantiasa mematuhi Ketentuan III.2.2 Peraturan Nomor I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi.
"Saat ini tidak ada informasi, kejadian atau fakta material lainnya yang belum diungkapkan kepada publik," katanya.
Setelah merger tiga bank syariah BUMN, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang sebelumnya menjadi induk BRIS, tak lagi jadi pengendali BRIS melainkan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dengan kepemilikan sebesar 51%.
Komposisi pemegang saham pada lainnya di BRIS adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 25,0%, DPLK BRI - Saham Syariah 2% dan publik hanya 4,4%. Adapun BBRI hanya memegang 17,4% saham BRIS.
Aturan free float di BEI atau minimal porsi saham publik menyebutkan bahwa perusahaan tercatat dapat tetap tercatat di bursa jika jumlah saham yang dimiliki pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama mencapai minimal 50 juta saham dan minimal 7,5% dari jumlah saham dalam modal disetor.
Selain itu, pemegang saham harus berjumlah minimal 300 nasabah pemilik rekening. BEI juga memberikan waktu paling lambat 2 tahun kepada emiten untuk memenuhi ketentuan tersebut.
Kementerian BUMN menyebutkan BRIS akan menggelar rencana penambahan modal dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue BRIS guna memenuhi ketentuan free float ini, selain juga mencari mitra baru.
Dari penerbitan saham baru ini perusahaan menargetkan bisa mendapatkan dana sebanyak-banyaknya US$ 500 juta atau setara dengan Rp 7 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$).
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan rights issue ini ditujukan untuk mencari partner strategis perusahaan sekaligus untuk menambah jumlah saham beredar perusahaan (free float).
"Tahun ini akan dilaksanakan rights issue Bank Syariah Indonesia sebagai bagian upaya meningkatkan free float dan menemukan strategic partner," kata Kartika dalam acara Mandiri Investasi Market Outlook 2021, Rabu (10/3/2021).
Sebelumnya, Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan bahwa Kementerian BUMN membuka peluang bagi investor asing untuk masuk sebagai investor baru pemilik saham perusahaan melalui Indonesia Investment Authority (INA), dana abadi (Sovereign Wealth Fund/SWF) bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Perlu dilakukan kajian komprehensif, lihat plus minus, mana yang terbaik untuk perkembangan BSI di masa sekarang dan masa yang akan datang, kita tidak akan gegabah apakah melalui strategic investor atau rights issue," kata dia dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Kamis (4/3/2021).
Hery menyatakan, aksi korporasi tersebut diharapkan akan memberi nilai tambah kepada seluruh pemegang saham perseroan.
"Harapannya yang dilakukan pemegang saham memberikan optimum benefit kepada Bank Syariah Indonesia agar bisa berkembang," ujarnya lagi.
[CNBC]
KOMENTAR