Gurusaham.com - Sebuah emiten perbankan saat ini kerap menjadi perbincangan karena harga saham bertahan di harga yang fantastis.
Emiten tersebut PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang dikendalikan bankir senior Jerry Ng melalui kepemilikan PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia
Selama 2021 saja saham ARTO sudah naik 154,65%. Jika dihitung dari awal 2019, saham ARTO telah melesat 53 kali lipat, sebuah sejarah baru dalam emiten perbankan Indonesia
Saat ini ARTO diperdagangkan di level Rp 9.900/unit, dengan nilai buku per akhir 2020 sebesar Rp 114/unit dan membukukan kerugian bersih sebesar Rp 189 miliar pada periode yang sama.
Melihat hal ini tentu saja banyak pelaku pasar yang menganggap harga ARTO saat ini sudah tidak wajar dan hanya nilai di atas kertas saja.
Tak sedikit yang menganggap ARTO tergolong gorengan karena nilai price to book value (PBV) mencapai 16 kali, sementara emiten bank hanya di kisaran 2 kali.
Ada pula yang menebak kapan "big player" di ARTO akan keluar sehingga harga akan terkoreksi ke zona "wajar". Apakah benar demikian?
Tentu saja pelaku pasar bisa mengabaikan rugi bersih ARTO di tahun 2020 karena sejatinya saat ini aplikasi bank digital ARTO belum beroperasi. Nantinya setelah beroperasi tentunya rugi bersih tersebut akan sangat mudah berubah menjadi laba.
Well, tetapi apabila melihat nilai buku yang kecil pada saat sebelum penawaran umum terbatas (PUT) II atau rights issue tentu saja para pelaku pasar bisa menyimpulkan dengan cepat bahwa saham ARTO kemahalan, bayangkan PBV ARTO saat ini berada di angka 86,8 kali.
Akan tetapi para pelaku pasar perlu memfaktorkan rights issue. RI putaran kali ini dilakukan ARTO di harga Rp 2.350/unit dan menggumpulkan dana segar sebesar Rp 7 triliun.
Hal ini tentu saja menyebabkan nilai buku ARTO terbang tinggi, menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, nilai buku ARTO pasca rights issue berada di angka Rp 598/unit.
Di level ini valuasi PBV menjadi lebih masuk akal yakni di angka 16,5 kali. Valuasi yang premium memang apabila dibandingkan dengan perusahaan konvensional.
Setidaknya ada 3 pesan tersirat yang pernah disampaikan oleh manajemen ARTO, yang bisa dijadikan petunjuk.
Pertama, ada tersirat masih ada aksi korporasi selanjutnya. Hal tersebut terungkap dalam presentasi konferensi pers ARTO beberapa waktu lalu.
"Tahun 2021 akan menjadi tahun ekspansi," ujar Manajemen ARTO.
Dalam rencananya sebanyak 97% rencana ekspansi adalah unit usaha syariah, partnership lending, kolaborasi digital ecosystem, pengembangan Apps dan integrasi Apps.
Apakah semuanya akan dilakukan secara organik atau ada peluang anorganik? Tentunya dengan modal lebih dari Rp 8 triliun, ARTO bisa memilih aksi korporasi anorganik untuk mempercepat pertumbuhan bisnis.
Berikutnya, publik memang sering salah kaprah antara perbedaan bank digital dengan digital banking.
Digital banking adalah anak usaha atau fasilitas dari bank konvensional dimana nasabah bisa membuka rekening atau melakukan transaksi dengan mudah secara daring, tentunya dengan bisnis bank konvensional biasa yang masih tetap berjalan normal.
Lain halnya dengan bank digital yang seluruhnya full online dimana nantinya bank digital ini tidak lagi memiliki cabang di pelosok-pelosok sehingga biaya-biaya yang perlu digelontorkan oleh bank konvensional bisa ditekan oleh bank digital sehingga akan ada efisiensi bisnis besar-besaran.
Catat saja biaya-biaya yang biasanya tergolong pos biaya jumbo di bank konvensional seperti gaji karyawan, ekspansi secara brick and mortar, sewa bangunan, dan lain sebagainya dapat ditekan oleh bank digital.
Hal inilah yang menyebabkan valuasi saham bank digital berbeda dengan valuasi perusahaan konvensional dan bisa dianggap sebagai perusahan startup teknologi.
Catat saja bank digital asal China WeBank memiliki ekuitas sebesar US$ 2,3 miliar akan tetapi investor di pasar privat memberikan label harga US$ 29 miliar terhadap WeBank sehingga valuasinya PBV-nya berada di angka 12,6 kali
Begitupula dengan Monzo Bank asal Britania raya yang tercatat hanya memiliki ekuitas sebesar US$ 153 juta akan tetapi valuasi Monzo di private market mencapai US$ 1,2 miliar atau PBV sebesar 7,84 kali.
Melihat hal ini tentu saja valuasi ARTO dapat dijustifikasi sebagai valuasi wajar apalagi mengingat ke depan dengan dana segar mencapai Rp 7 triliun yang saat ini dimiliki oleh perseroan akan memberikan kemampuan Bank Jago untuk berekspansi dengan lebih leluasa.
Investor kakap yang siap membeking ekspansi ARTO juga bukan main-main seperti Gojek yang masuk lewat dompet digitalnya GoPay sebesar 21,4% dan dana abadi alias SWF Singapura, GIC yang merangkul ARTO sebanyak 9,1%.
Dengan kehadiran Gojek sebagai pemegang saham tentu saja ini akan sangat berpengaruh terhadap ARTO mengingat sukses atau tidaknya suatu bank digital akan sangat bergantung dengan ekosistem.
Eksosistem gojek dengan pengguna aktif bulanan sebanyak 20 juta tentu saja tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan adanya ekosistem ini tentu saja biaya untuk mengaet nasabah baru akan mudah ditekan.
Bahkan angka ini juga akan melesat menjadi 40 juta pengguna aktif bulanan apabila nantinya rumor merger antara Gojek dan Tokopedia dapat difinalisasi.
Tercatat pengguna GoPay saat ini mencapai 10 juta pengguna aktif bulanan dimana 30% diantaranya sudah terindentifikasi secara KYC, sehingga nantinya apabila asimilasi sudah terjadi maka pengguna tersebut akan mudah ditawarkan untuk membuka rekening Bank Jago.
Dari sisi pemberian kredit, Bank Jago juga tentunya tidak akan kalah gencar, untuk kredit korporasi tentu saja ada nama besar Gojek dan Tokopedia yang siap meminjam dari 'saudaranya' sendiri.
Sedangkan untuk kredit konsumsi, Bank Jago memiliki banyak kerjasama dengan fintech seperti Kredit Pintar, Gofin, Home Kredit, dan Batumbu.
Khusus untuk kolaborasi ARTO dengan Gojek (dan segera Tokopedia bila merger selesai) kembali ada petunjuk yang diberikan oleh manajemen dalam konferensi pers, yakni "Integrasi Apps".
Kemana aplikasi digital ARTO akan diintegrasikan? Apakah makna dari integrasi Apps ini bagi lompatan bisnis Bank Jago?
Sayangnya, belum ada konfirmasi yang cukup mengenai hal ini dari Bank Jago, yang memilih untuk tidak berkomentar.
Yang pasti institusi finansial raksasa seperti Nomura dan Morgan Stanley telah memberikan target bullish terhadap saham ARTO.
Tercatat Nomura menargetkan saham ARTO berada di level Rp 13.500/unit sedangkan target MS lebih tinggi yakni di level Rp 14.528/unit dalam base case dan masing-masing Rp 37.250/unit dan Rp 21.476/unit dalam bull case.
Terakhir, Tidak lebih dari 30 emiten yang memiliki harga saham di atas 10.000. Mungkin ini yang menjadi dasar sebagian orang menilai harga saham ARTO memang 'kemahalan'.
Padahal mahal murah itu relatif. Bagi yang berpegang pada ekspektasi di masa depan, mungkin tidak ada kata mahal.
[CNBC]
KOMENTAR