Gurusaham.com - Klaim jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang baru bisa dicairkan saat usia pensiun 56 tahun menuai reaksi penolakan yang keras dari para pekerja. Buruh menganggap tidak fair dana tersebut 'ditahan'.
Aturan ini dinilai memberatkan dari sisi pekerja, terutama yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai, keputusan Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan peraturan yang baru berlaku efektif mulai Mei 2022 itu disebabkan salah satunya karena meningkatnya tekanan terhadap arus kas BPJS Ketenagakerjaan alias Jamsostek.
Bila dilihat berdasarkan publikasi laporan keuangan perusahaan tahun 2020, tercatat selama masa pandemi Covid-19, terjadi peningkatan beban klaim dan menyedot arus kas sepanjang tahun 2020 sebesar 226,37% lebih tinggi dari 2019.
Pada tahun 2020, jumlah klaim, pencairan JHT, naik 22,23% di tahun 2020 dibanding 2019.
Menurut eks Komisaris PT Pupuk indonesia ini, jika diestimasikan, semua yang klaim di bawah usia 56 dan mengambil karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), maka indikator PHK di 2020 meningkat 15,22% dibanding 2019.
"Jadi, kalau dari situ kita melihat, dapat kita dapatkan akar perubahan klaim di Per Menaker ya karena tekanan besar PHK, menciptakan tekanan arus kas kelembagaan," kata Yanuar, Selasa (15/2/2022).
Di sisi lain, performa investasi tercatat mengalami penurunan 0,05% di tahun 2020 dibanding 2019, meski indikator kasar volatilitas trading di bursa (IHSG) mengalami pelebaran ruang imbal hasil (return) sekaligus risiko yang melebar.
Masalahnya, kata Yanuar, di Indonesia, JHT itu masih satu-satunya jaminan sosial yang sudah terbentuk Dana Jaminan Sosial (DJS) nya.
Selama ini, JHT juga blending dengan asuransi PHK. Di mana, pekerja bisa mengambil saat PHK. Sedangkan, dari sisi pengusaha, melalui UU Ciptaker mengalihkan beban pesangon ke asuransi PHK, yang disebut Jaminan Kepastian Kerja (JKP).
CNBC Indonesia mencatat, pada sepanjang tahun 2021, BPJS Ketenagakerjaan mencatatkan realisasi hasil investasi sebesar Rp 35,36 triliun sepanjang tahun 2021.
Direktur Utama BP Jamsostek, Anggoro Eko Cahyo menyampaikan, hasil investasi itu secara tahunan tumbuh 9,37%. Meski demikian, target tersebut baru mencapai 94,55% dari target prognosa BP Jamsostek sepanjang tahun lalu.
"Hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan tumbuh 9,37% secara tahunan menjadi Rp 35,36 triliun," katanya, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Dari sisi dana investasi mencapai Rp 553,50 triliun, atau naik 13,64% secara tahunan.
Rinciannya, penempatan dana investasi BP Jamsostek ditempatkan paling besar 81,8% di instrumen fixed income, 17,8% di instrumen berbasis saham, dan kurang dari 1% penempatan investasi secara langsung.
Anggoro menyampaikan, dari pengelolaan fresh fund pada tahun 2021 yaitu sebesar Rp 32 triliun, memang lebih kecil dari tahun 2020. Hal ini disebabkan karena naiknya beban klaim yang mencapai Rp 42,89 triliun pada 2021.
"Tahun lalu fresh fund dikelola Rp 32 triliun, lebih kecil dari 2020. Tapi investasi yang dihasilkan [pada 2021] tumbuh 9,37%, artinya kami berusaha mengoptimalkan fresh fund yang lebih sedikit dengan return yang lebih baik," ungkapnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>PHK Mengancam, Buruh Teriak Aturan Baru Permenaker
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menyatakan jika KSPI dan Buruh Indonesia tidak setuju dengan Permenaker No.2 Tahun 2022. Pasalnya, nasib perekonomian Indonesia belum terlalu membaik akibat dari pandemi COVID-19.
"Itu menunjukkan pertumbuhan ekonominya masih berkutat di non-manufaktur. Sehingga PHK masih mengancam. JHT adalah satu-satunya alternatif untuk buruh yang ter-PHK. Kan kita lihat dirumahkan saja dibayar gaji pun nggak. Yang kerja saja masih dibayar gajinya masih 25%-50%.," kata Said Iqbal seperti dikutip Detikfinance.
Menurutnya, para korban yang terkena Pemutus Hubungan Kerja (PHK) masih membutuhkan biaya hidup, dari tabungannya selama bekerja yaitu JHT.
Sepaham dengan said, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) Mirah Sumirat mengatakan, bahwa JHT merupakan hak pekerja dan pemberi kerja bukan pemerintah.
"Komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2% dari upah sebulan dan 3,7% dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan," jelas Mirah dalam keterangan tertulis.
Ia juga mengatakan, dalam Permenaker No. 19 tahun 2015, JHT itu bisa dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri (resign) maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
[CNBC]
KOMENTAR